Friday, 14 July 2023

SUFI

SUFI

Ilmu tasawuf itu secara amaliyah ahlak (perilaku) sudah dipraktekan sejak jaman Nabi Muhammad SAW namun secara keilmuwan (disusun dalam metode keilmuan) baru ada setelah era khulafaturrasidin.

Tasawuf berasal dari akar kata benda : “Shuff” yang berarti (pakaian) bulu domba. Kata kerjanya : “Tashawwafa” memakai bulu domba (sebagai pakaian), dan subjek/orang yang memakai bulu domba sebagai pakaian disebut “shufi”.

Bulu domba pada masa lalu adalah lawan dari sutera. Jika sutera adalah bahan pakaian yang mahal, maka bulu domba adalah pakaian orang faqir. Maksud dari memakai bulu domba sebagai pakaian adalah, bahwa orang-orang yang menempuh jalah tasawuf (shufi), bersebrangan dengan kemewahan dunia atau tidak mementingkan penampilan diri di hadapan manusia, melainkan menomor satukan penampilan diri di hadapan Allah SWT. 

Namun ilmu tasawuf yang mendalami terkait ilmu ma'rifat (pengenalan Allah) pada hari ini sudah banyak yang bergeser dari tujuan awal ajarannya oleh tokoh - tokoh tasawuf seperti Rabiatul Adawiyah, Imam Al Ghazali, dan ulama ulama lain.

Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan, pengalaman, atau pengetahuan Ilah. Sedangkan secara bahasa ma’rifat berarti pengetahuan rahasia hakekat agama.

Dalam istilah sufi, ma’rifat dapat diartikan cahaya yang disorot pada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Inilah pengetahuan hakiki yang datang melalui kasyf (menyingkap), musyahadah (penyaksian), dan dauq (cita rasa). Pengetahuan ini berasal dari Allah SWT.

Imam Al-Ghazali menerangkan, bahwa ma’rifat menurut pengertian bahasa adalah ilmu pengetahuan yang tidak bercampur dengan keraguan. Inti tasawuf Imam Al Ghazali adalah jalan munuju Allah SWT. Sarana ma’rifat seorang sufi adalah qalbu (hati), bukan perasaan dan tidak pula akal (pemikiran). Konsepsi ini, qalbu (hati) bukan diartikan sebagai wujud yang sebenarnya akan tetapi qalbu adalah bagaikan cermin, sementara ilmu adalah pantulan gambaran realitas yang termuat didalamnya.

Lebih terperinci, Imam Al Ghazali mengemukakan pengertian lebih jelas, yaitu Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh alam. Seorang yang telah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajahnya.

Namun banyak orang awam belajar ma'rifat akhirnya malah meninggalkan syaria'at Agama, padahal justru ilmu ma'rifat seharusnya menjadikan syari'at sebagai sarana dalam bercengkrama dengan Tuhan tanpa perantara. 

Mereka lupa bahwa sumber Ilmu adalah Nabi Besar Muhammad SAW, Bahkan terciptanya Alam Semesta karena kemuliaan Nabi Muhammad SAW, Mereka lupa bahwa dia mengetahui dan mengenal siapa itu “ALLAH” dari lisan Nabi Mulia Muhammad SAW, Dia tau bahwa Allah SWT itu Tuhan juga dari Nabi Muhammad SAW, jadi semua Sumber Ilmu Ma’rifat, guru dari para guru tak lain tak bukan bersumber dari Nabi Agung Muhammad SAW yang disampaikan dan diajarkan kepada Sahabat, lalu dari sahabat disampaikan dan diajarkan kepada Tabi’in, selanjutnya dari Tabi’in diajarkan kepada Tabi’in – Tabi’in, dan seterus sampai kepada guru guru kita dan muaranya sampai pada kita.

Bahkan Nabi Muhammad SAW yang pernah mehadap Allah SWT dan diperlihatkan Syurga dan Neraka saja masih melakukan Syariaat agama dengan sungguh - sungguh, para sahabat yang sebagian dijamin masuk surga saja selalu menjadikan sholat sebagai sarana berkomunikasi dengan Allah SWT, kok kita yang derajat nya saja jauh dibawah imam Al Ghozali (guru ma’rifat) sudah ingin meninggalkan syariat.

Dan Firman ALLAH SWT dalam Al Quran “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (An-Nisaa/4 : 80).

Bagaimana cara mentaati Rasul seperti yang di firmankan Tuhan?? Ya dengan meniru apa yang dilakukan dan diajarkan oleh Nabi Nya.

Sering kita mendengar orang awam yang belajar Ma’rifat berkata “Ilmu itu tidak perlu berguru, karena yang tau baik dan buruk itu adalah qolbu, karena tidak ada jaminan guru itu akan selamat di akherat, belum tentu guru itu lebih baik dari kita”

Pertanyaannya :

1. Benarkah kita sendiri atau qolbu (hati) kita yang tahu tentang baik & buruk?

Sebelum kita bahas lebih jauh, perlu ditanya apa itu definisi baik dan apa itu definisi buruk?? Karena hal yang kita anggap baik belum tentu orang lain menganggapnya baik. 

Contoh, makan jongkok di Negara India dianggap baik tetapi bagi sebagian besar suku jawa itu dianggap hal buruk. 

Di India pusat perempuan terbuka dianggap baik tetapi jika itu di Indonesia maka di anggap buruk. 

Membunuh bahkan dianggap baik oleh kaum jahiliyah dijaman sebelum kenabian, mengubur bayi perempuan dianggap baik oleh suku qurais pada jaman jahiliyah, dan banyak hal yang lain dimana akal tidak bisa menentukan hal baik dan buruk karena baik dan buruk itu bisa berbeda persepsi tergantung kemampuan akal dijaman itu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan dan hal lainnya. 

Maka untuk menentukan sebuah perbuatan itu baik atau buruk maka pedoman dasar nya adalah apa yang tercantum didalam Al Quran dan Hadist.

2. Apakah ada jaminan bahwa guru kita akan selamat di akherat kelak? 

Tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin keselamatan siapapun, bahkan Nabi Muhammad SAW sekali pun tidak dapat menjamin manusia pasti masuk surga atau neraka kecuali semua informasi yang diterima merupakan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT. Selamat atau tidak selamat nya seseorang kelak di akherat itu merupakan hak Prerogratif Allah SWT, dan ketaatan kepada Allah SWT itu adalah salah satu usaha kita agar turunnya Rahmat dan ampunan.

Rasulullah berdabda :

"Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya. Seorang lelaki bertanya: Engkau pun tidak, wahai Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab: Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar" (Hadits Shohih Bukhori Jilid 8, nomor 470)

3. Perlukah kita berguru???

Walaupun tidak ada jaminan manusia akan selamat di akherat kelak kecuali atas Rahmat Allah SWT, termasuk guru - guru kita. Tetapi belajar melalui guru itu perlu, karena fungsi berguru adalah untuk memastikan, bahwa ilmu yg kita terima, sama persis dengan apa yang Nabi ajarkan,, ucapan lisan guru sama dengan ucapan lisan nabi muhammad SAW. kalau istilahnya dalam agama yaitu "sanad"

Sanad itu contohnya seperti ini, misal kata “TAAT”, darimana kita bisa tahu kata “TAAT”, Taat itu bukan bahasa Indonesia, atau bahasa suku orang Indonesia, “TAAT” itu bahasa arab yang artinya tunduk, patuh, ngawulo, penghambaan, darimana kita tahu orang menyebut “TAAT” padahal jarak arab saudi ribuan kilo meter dari indonesia, atau bahkan bisa berhari hari perjalanan laut dan dijaman itu belum ada Telpon, belum ada Facebook.

Lalu darimana orang dijaman kata “TAAT”, orang jaman dulu mengetahui kata taat dari gurunya, guru nya dari gurunya, sampai pada guru - gurunya yang pernah belajar ke Negri Arab, dan seterus nya. Dari kata Taat saja kita sudah bersanad, maka ilmu agama pun bersanad dari nabi Muhammad SAW sampai kepada kita. 

Wallahua'lam


0 komentar: